Senin, 02 Desember 2013

Cerita di Musim Hujan

Aang Mardiyanto
Genangan air membanjiri  bekas pijakan kakiku. Mengalir, menyalurkan sederet suara percikan yang mengiang-ngiang dalam otakku. Ditemani segelas perasan jeruk manis, ku lihat kabut menyelimuti panorama pemandangan bukit biru. Burung-burung menembus kegelapan dengan harapan menemukan sebaris pelangi yang mewarnai sore itu. Bernyanyi dalam hati layaknya anak kecil belajar nada-nada kehidupan.

Aku terlena merasakan kesejukan di setiap pori-pori ragaku. Melelehkan hati akan pengakuan kekuasaan Tuhan. Orang-orang berucap betapa indahnya hiruk pikuk yang Tuhan ciptakan untuk menemani nuansa hening hidup ini. Sedikitpun aku tak beranjak memalingkan pandanganku pada
satu titik yang membuatku tafakkur pada kenyataan yang harus ku jalani. Meskipun gelisah mencari kepastian akan tujuan hidup yang sampai saat ini belum ku temui. Namun sore itu, aku mulai mengeja inci demi inci peristiwa yang sering mengganjal dalam fikiranku. Otakku di paksa menerawang tanpa batas, hingga aku tak sadar sore akan segera pergi meninggalkanku di sebuah gubuk kecil tempat kehangatan berada.

Aku keluar menyaksikan senja yang tak sabar mengikis matahari di balik mendung yang menangis. Satu keindahan kembali muncul menambah keindahan-keindahan lain yang terpasang rapi di depanku. Mana mungkin aku diam saja melihatnya, merasakannya bagaikan berada di sebuah tempat yang tak pernah aku singgahi sebelumnya, tempat dimana burung-burung berkicau dengan riang, tumbuhan tumbuh subur tak mengenal musim. Apa lagi aku, yang di beri kemampuan untuk hidup di setiap musim, meskipun kesempurnaan masih di tangan Tuhan. Aku melepaskan segala kepenatanku di tempat yang lahir dari diriku sendiri, tak berwujud, tak terlihat, tak terdengar. Tapi aku bisa merasakannya. merasakan kedamaian, ketentraman, kebahagiaan, meskipun pada akhirnya, jika aku kembali pada duniaku, semuanya akan berubah seperti dahulu kala.Aku nikmati saja kesempatan ini untuk bercerita tentang malam yang selalu membuatku kedinginan, tentang siang yang membuatku kepanasan, tentang gelap, terang dan banyak lagi cerita-cerita hatiku. Aku berfikir inilah saatnya mengeja aksara keresahanku pada angin yang mungkin dapat membawa bebanku ke tempat yang jauh.

Lebih dalam lagi aku terbuai oleh kenyamanan yang tercipta saat itu. Hingga suara-suara teriakan tak mampu menerobos gendang telingaku. Hanya desiran angin yang mampu melelapkan mata batinku untuk terus berjalan mencari kepastian yang selama ini ku cari. Belum sempat ku temukan jawabannya, rintihan waktu mengejutkanku tentang jalan yang sudah gelap, aku terbangun dari lamunan berharap senja masih mewarnai kulitku, namun mata ini tak mampu melihatnya. ku biarkan waktu terus bergulir, barangkali ada waktu lain membuntuti di belakangnya.

Saat itu pula, kicauan burung berganti pada bunyi jangkrik yang biasa meramaikan malam dengan suara khasnya. Di tambah dengan suara binatang yang masih menginginkan awan menurunkan hujan. Beda dengan diriku, yang enggan hujan-hujanan hanya karena takut tubuhku basah dan tak bisa mengering akibat matahari yang tak kuasa membelah mendung yang menghadangnya. Tapi semuanya masih dalam pantauan tuhan, Ia yang sepenuhnya memegang kendali kehidupan ini.

0 komentar:

Posting Komentar