![]() |
Aang Mardiyanto |
Genangan air membanjiri bekas pijakan
kakiku. Mengalir, menyalurkan sederet suara percikan yang mengiang-ngiang dalam
otakku. Ditemani segelas perasan jeruk manis, ku lihat kabut
menyelimuti panorama pemandangan bukit biru. Burung-burung menembus kegelapan
dengan harapan menemukan sebaris pelangi yang mewarnai sore itu. Bernyanyi
dalam hati layaknya anak kecil belajar nada-nada kehidupan.
Aku terlena merasakan kesejukan di setiap
pori-pori ragaku. Melelehkan hati akan pengakuan kekuasaan Tuhan. Orang-orang
berucap betapa indahnya hiruk pikuk yang Tuhan ciptakan untuk menemani nuansa
hening hidup ini. Sedikitpun aku tak beranjak memalingkan pandanganku pada
satu titik yang membuatku tafakkur pada kenyataan yang harus ku jalani. Meskipun gelisah mencari kepastian akan tujuan hidup yang sampai saat ini belum ku temui. Namun sore itu, aku mulai mengeja inci demi inci peristiwa yang sering mengganjal dalam fikiranku. Otakku di paksa menerawang tanpa batas, hingga aku tak sadar sore akan segera pergi meninggalkanku di sebuah gubuk kecil tempat kehangatan berada.
satu titik yang membuatku tafakkur pada kenyataan yang harus ku jalani. Meskipun gelisah mencari kepastian akan tujuan hidup yang sampai saat ini belum ku temui. Namun sore itu, aku mulai mengeja inci demi inci peristiwa yang sering mengganjal dalam fikiranku. Otakku di paksa menerawang tanpa batas, hingga aku tak sadar sore akan segera pergi meninggalkanku di sebuah gubuk kecil tempat kehangatan berada.
Aku keluar menyaksikan senja yang tak sabar
mengikis matahari di balik mendung yang menangis. Satu keindahan kembali muncul
menambah keindahan-keindahan lain yang terpasang rapi di depanku. Mana mungkin
aku diam saja melihatnya, merasakannya bagaikan berada di sebuah tempat yang
tak pernah aku singgahi sebelumnya, tempat dimana burung-burung berkicau dengan
riang, tumbuhan tumbuh subur tak mengenal musim. Apa lagi aku, yang di beri
kemampuan untuk hidup di setiap musim, meskipun kesempurnaan masih di tangan
Tuhan. Aku melepaskan segala kepenatanku di tempat yang lahir dari diriku
sendiri, tak berwujud, tak terlihat, tak terdengar. Tapi aku bisa merasakannya.
merasakan kedamaian, ketentraman, kebahagiaan, meskipun pada akhirnya, jika aku
kembali pada duniaku, semuanya akan berubah seperti dahulu kala.Aku nikmati saja kesempatan ini untuk bercerita
tentang malam yang selalu membuatku kedinginan, tentang siang yang membuatku
kepanasan, tentang gelap, terang dan banyak lagi cerita-cerita hatiku. Aku
berfikir inilah saatnya mengeja aksara keresahanku pada angin yang mungkin
dapat membawa bebanku ke tempat yang jauh.
Lebih dalam lagi aku terbuai oleh kenyamanan yang
tercipta saat itu. Hingga suara-suara teriakan tak mampu menerobos gendang
telingaku. Hanya desiran angin yang mampu melelapkan mata batinku untuk terus
berjalan mencari kepastian yang selama ini ku cari. Belum sempat ku temukan
jawabannya, rintihan waktu mengejutkanku tentang jalan yang sudah gelap, aku
terbangun dari lamunan berharap senja masih mewarnai kulitku, namun mata ini
tak mampu melihatnya. ku biarkan waktu terus bergulir, barangkali ada waktu
lain membuntuti di belakangnya.
Saat itu pula, kicauan burung berganti pada bunyi
jangkrik yang biasa meramaikan malam dengan suara khasnya. Di tambah dengan
suara binatang yang masih menginginkan awan menurunkan hujan. Beda
dengan diriku, yang enggan hujan-hujanan hanya karena takut tubuhku
basah dan tak bisa mengering akibat matahari yang tak
kuasa membelah mendung yang menghadangnya. Tapi semuanya masih dalam
pantauan tuhan, Ia yang sepenuhnya memegang kendali kehidupan ini.
0 komentar:
Posting Komentar